Penyebab
Rendahnya
Kualitas Pendidikan di Indonesia
Di bawah ini akan diuraikan
beberapa
penyebab rendahnya kualitas pendidikan di Indonesia secara umum, yaitu:
1.
Efektifitas Pendidikan Di Indonesia
Pendidikan
yang efektif adalah suatu pendidikan yang memungkinkan peserta didik
untuk
dapat belajar dengan mudah, menyenangkan dan dapat tercapai tujuan
sesuai
dengan yang diharapkan. Dengan demikian, pendidik (dosen, guru,
instruktur, dan
trainer) dituntut untuk dapat meningkatkan keefektifan pembelajaran agar
pembelajaran tersebut dapat berguna.
Efektifitas
pendidikan di Indonesia sangat rendah. Setelah praktisi pendidikan
melakukan
penelitian dan survey ke lapangan, salah satu penyebabnya adalah tidak
adanya
tujuan pendidikan yang jelas sebelm kegiatan pembelajaran dilaksanakan.
Hal ini
menyebabkan peserta didik dan pendidik tidak tahu “goal” apa yang akan
dihasilkan sehingga tidak mempunyai gambaran yang jelas dalam proses
pendidikan. Jelas hal ini merupakan masalah terpenting jika kita
menginginkan
efektifitas pengajaran. Bagaimana mungkin tujuan akan tercapai jika kita
tidak
tahu apa tujuan kita.
2.
Efisiensi
Pengajaran Di Indonesia
Efisien
adalah bagaimana menghasilkan efektifitas dari suatu tujuan dengan
proses yang
lebih ‘murah’. Dalam proses pendidikan akan jauh lebih baik jika kita
memperhitungkan untuk memperoleh hasil yang baik tanpa melupakan proses
yang
baik pula. Hal-hal itu jugalah yang kurang jika kita lihat pendidikan di
Indonesia. Kita kurang mempertimbangkan prosesnya, hanya bagaimana dapat
meraih
standar hasil yang telah disepakati.
Beberapa
masalah efisiensi pengajaran di dindonesia adalah mahalnya biaya
pendidikan,
waktu yang digunakan dalam proses pendidikan, mutu pegajar dan banyak
hal lain
yang menyebabkan kurang efisiennya proses pendidikan di Indonesia. Yang
juga
berpengaruh dalam peningkatan sumber daya manusia Indonesia yang lebih
baik.
Sistem
pendidikan yang baik juga berperan penting dalam meningkatkan efisiensi
pendidikan di Indonesia. Sangat disayangkan juga sistem pendidikan kita
berubah-ubah sehingga membingungkan pendidik dan peserta didik.
3.
Standardisasi Pendidikan Di Indonesia
Jika kita
ingin meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia, kita juga berbicara
tentang
standardisasi pengajaran yang kita ambil. Tentunya setelah melewati
proses
untuk menentukan standar yang akan diambil.
Peserta
didik Indonesia terkadang hanya memikirkan bagaiman agar mencapai
standar
pendidikan saja, bukan bagaimana agar pendidikan yang diambil efektif
dan dapat
digunakan. Tidak perduli bagaimana cara agar memperoleh hasil atau lebih
spesifiknya nilai yang diperoleh, yang terpentinga adalah memenuhi nilai
di
atas standar saja.
Hal seperti
di atas sangat disayangkan karena berarti pendidikan seperti kehilangan
makna
saja karena terlalu menuntun standar kompetensi. Hal itu jelas salah
satu penyebab
rendahnya mutu pendidikan di Indonesia.
Dalam kasus
UAN yang hampir selalu menjadi kontrofesi misalnya. Kami menilai adanya
sistem
evaluasi seperti UAN sudah cukup baik, namun yang kami sayangkan adalah
evaluasi pendidikan seperti itu yang menentukan lulus tidaknya peserta
didik
mengikuti pendidikan, hanya dilaksanakan sekali saja tanpa melihat
proses yang
dilalu peserta didik yang telah menenpuh proses pendidikan selama
beberapa
tahun. Selain hanya berlanhsug sekali, evaluasi seperti itu hanya
mengevaluasi
3 bidang studi saja tanpa mengevaluasi bidang studi lain yang telah
didikuti
oleh peserta didik.
Selain
beberapa penyebab rendahnya kualitas pendidikan di atas, berikut ini
akan
dipaparkan pula secara khusus beberapa masalah yang menyebabkan
rendahnya
kualitas pendidikan di Indonesia.
1.
Rendahnya
Kualitas Sarana Fisik
Untuk sarana
fisik misalnya, banyak sekali sekolah dan perguruan tinggi kita yang
gedungnya
rusak, kepemilikan dan penggunaan media belajar rendah, buku
perpustakaan tidak
lengkap. Sementara laboratorium tidak standar, pemakaian teknologi
informasi
tidak memadai dan sebagainya. Bahkan masih banyak sekolah yang tidak
memiliki
gedung sendiri, tidak memiliki perpustakaan, tidak memiliki laboratorium
dan
sebagainya.
Data
Balitbang Depdiknas (2003) menyebutkan untuk satuan SD terdapat 146.052
lembaga
yang menampung 25.918.898 siswa serta memiliki 865.258 ruang kelas. Dari
seluruh ruang kelas tersebut sebanyak 364.440 atau 42,12% berkondisi
baik,
299.581 atau 34,62% mengalami kerusakan ringan dan sebanyak 201.237 atau
23,26%
mengalami kerusakan berat. Kalau kondisi MI diperhitungkan angka
kerusakannya
lebih tinggi karena kondisi MI lebih buruk daripada SD pada umumnya.
Keadaan
ini juga terjadi di SMP, MTs, SMA, MA, dan SMK meskipun dengan
persentase yang
tidak sama.
2.
Rendahnya
Kualitas Guru
Keadaan guru
di Indonesia juga amat memprihatinkan. Kebanyakan guru belum memiliki
profesionalisme yang memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana
disebut
dalam pasal 39 UU No 20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran,
melaksanakan
pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan,
melakukan
pelatihan, melakukan penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Bukan itu
saja, sebagian guru di Indonesia bahkan dinyatakan tidak layak mengajar.
Persentase
guru menurut kelayakan mengajar dalam tahun 2002-2003 di berbagai satuan
pendidikan sbb: untuk SD yang layak mengajar hanya 21,07% (negeri) dan
28,94%
(swasta), untuk SMP 54,12% (negeri) dan 60,99% (swasta), untuk SMA
65,29%
(negeri) dan 64,73% (swasta), serta untuk SMK yang layak mengajar 55,49%
(negeri) dan 58,26% (swasta).
Kelayakan
mengajar itu jelas berhubungan dengan tingkat pendidikan guru itu
sendiri. Data
Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI
hanya
13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu,
dari
sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma
D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru,
baru
57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi,
dari
181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48%
berpendidikan
S3).
3.
Rendahnya
Kesejahteraan Guru
Rendahnya
kesejahteraan guru mempunyai peran dalam membuat rendahnya kualitas
pendidikan
Indonesia. Berdasarkan survei FGII (Federasi Guru Independen Indonesia)
pada
pertengahan tahun 2005, idealnya seorang guru menerima gaji bulanan
serbesar Rp
3 juta rupiah. Sekarang, pendapatan rata-rata guru PNS per bulan sebesar
Rp 1,5
juta. guru bantu Rp, 460 ribu, dan guru honorer di sekolah swasta
rata-rata Rp
10 ribu per jam. Dengan pendapatan seperti itu, terang saja, banyak guru
terpaksa melakukan pekerjaan sampingan. Ada yang mengajar lagi di
sekolah lain,
memberi les pada sore hari, menjadi tukang ojek, pedagang mie rebus,
pedagang
buku/LKS, pedagang pulsa ponsel, dan sebagainya (Republika, 13 Juli,
2005).
4.
Rendahnya
Prestasi Siswa
Dengan
keadaan yang demikian itu (rendahnya sarana fisik, kualitas guru, dan
kesejahteraan guru) pencapaian prestasi siswa pun menjadi tidak
memuaskan.
Sebagai misal pencapaian prestasi fisika dan matematika siswa Indonesia
di
dunia internasional sangat rendah. Menurut Trends in Mathematic and
Science
Study (TIMSS) 2003 (2004), siswa Indonesia hanya berada di ranking ke-35
dari
44 negara dalam hal prestasi matematika dan di ranking ke-37 dari 44
negara
dalam hal prestasi sains. Dalam hal ini prestasi siswa kita jauh di
bawah siswa
Malaysia dan Singapura sebagai negara tetangga yang terdekat.
Selain itu,
hasil studi The Third International Mathematic and Science
Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa, diantara 38
negara
peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32
untuk
IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut
majalah Asia
Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata 4
universitas
terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73
dan
ke-75.
5.
Kurangnya
Pemerataan Kesempatan Pendidikan
Kesempatan
memperoleh pendidikan masih terbatas pada tingkat Sekolah Dasar. Data
Balitbang
Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Binbaga
Departemen Agama
tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD
pada
tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk
kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah
yaitu
54, 8% (9,4 juta siswa). Sementara itu layanan pendidikan usia dini
masih
sangat terbatas. Kegagalan pembinaan dalam usia dini nantinya tentu akan
menghambat
pengembangan sumber daya manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu
diperlukan
kebijakan dan strategi pemerataan pendidikan yang tepat untuk mengatasi
masalah
ketidakmerataan tersebut.
6.
Rendahnya
Relevansi Pendidikan Dengan Kebutuhan
Hal tersebut
dapat dilihat dari banyaknya lulusan yang menganggur. Data BAPPENAS
(1996) yang
dikumpulkan sejak tahun 1990 menunjukan angka pengangguran terbuka yang
dihadapi oleh lulusan SMU sebesar 25,47%, Diploma/S0 sebesar 27,5% dan
PT
sebesar 36,6%, sedangkan pada periode yang sama pertumbuhan kesempatan
kerja
cukup tinggi untuk masing-masing tingkat pendidikan yaitu 13,4%, 14,21%,
dan
15,07%. Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar 3
juta
anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga
menimbulkan
masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil
pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang
materinya
kurang funsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta
didik
memasuki dunia kerja.
7.
Mahalnya
Biaya Pendidikan
Pendidikan
bermutu itu mahal. Kalimat ini sering muncul untuk menjustifikasi
mahalnya
biaya yang harus dikeluarkan masyarakat untuk mengenyam bangku
pendidikan.
Mahalnya biaya pendidikan dari Taman Kanak-Kanak (TK) hingga Perguruan
Tinggi
(PT) membuat masyarakat miskin tidak memiliki pilihan lain kecuali tidak
bersekolah. Orang miskin tidak boleh sekolah.
Pendidikan
berkualitas memang tidak mungkin murah, atau tepatnya, tidak harus murah
atau
gratis. Tetapi persoalannya siapa yang seharusnya membayarnya?
Pemerintahlah
sebenarnya yang berkewajiban untuk menjamin setiap warganya memperoleh
pendidikan dan menjamin akses masyarakat bawah untuk mendapatkan
pendidikan
bermutu. Akan tetapi, kenyataannya Pemerintah justru ingin berkilah dari
tanggung jawab. Padahal keterbatasan dana tidak dapat dijadikan alasan
bagi
Pemerintah untuk ‘cuci tangan’.
0 komentar:
Posting Komentar